Mbok Kami Yang Diciptakan Untuk Sendiri
Hidup memang selalu penuh misteri. Selalu saja ada hal yang tidak terduga yang mengejutkan dalam kehidupan. Sesekali ada yang masih tidak menerima apa yang seseorang alami semasa hidup. Namun ada juga yang tahu bagaimana cara menyikapi hidup yang telah diatur oleh Tuhan Yang Maha Kuasa ini. Tidak terkecuali Mbok Kami, seorang janda tua berumur 60-an dengan kesendirianya.
Semasa muda, ia menghabiskan hidupnya di perantauan dan tidak ada yang salah dengan itu. Kehidupan di sebuah daerah yang belum maju memang mengharuskannya merantau untuk hidup yang lebih baik. Bertahun-tahun hidup di perantauan lantas membuatnya menua. Ia seakan lupa bahwa dirinya butuh seorang teman yang akan menemaninya selama hidup. Lupa mencari jodoh karena kesibukan dirinya, itulah anggapan orang-orang yang melihatnya. Walau sebenarnya ia menantikan seseorang untuk datang dan meminangnya. Ia menanti dalam kesibukannya bekerja di kota untuk hidup layak di desa di masa tua.
Bertahun-tahun di kota, tentu saja ia rindu keluarga di desa kecil yang tidak punya apa-apa. Desa yang selalu membuatnya rindu ingin pulang, namun jika hanya menunggu di desa akan membuatnya tak punya tabungan masa tua. Seperti yang warga setempat sering ungkapkan "Ditinggal ngangenin, ditungguni ora sugih-sugih.". Sewindu dua windu, ia masih terlihat betah dengan kesendiriannya. Nyatanya ia masih mampu sendiri dibanding rasa rindu akan desa kecil yang ia tinggalkan. Ia akhirnya memutuskan untuk kembali ke desa setelah lama hidup di perantauan.
Di desa yang tak punya apa-apa ia masih sendiri tanpa seorang pria meskipun usianya sudah kepala tiga. Sepi jelas terasa namun ia terlihat bagai tak berasa kurang apa. Sayangnya, desa kecilnya tak bisa ia andalkan. Hasil keringat kerja berwindu-windu di kota perlahan terkikis oleh kebutuhan hidup tanpa sebuah pemasukan. Kantongnya perlahan kosong seperti hatinya yang tidak pernah terisi oleh pria.
Hari-hari sepinya diisi dengan menjadi seorang pekerja lepas membuat makanan khas daerah ini. Sisanya diisi dengan berbincang dengan tetangga di waktu luangnya. Sesekali menghibur diri dengan bermain dengan anak-anak kecil yang mungkin sebuah pertanda bahwa dirinya menginginkan sebuah momongan. Tapi dengan siapa? Calon saja belum ada. Ketika sendiri hanya bengong menikmati kesunyian desa di teras rumah orangtuanya. Hari-harinya bagaikan sebuah siklus yang tak pernah henti, selama berwindu-windu juga. Sunyi, jelas sunyi. Sepi, pasti sepi. Sayang sekali belum ada yang mendatangi untuk memperistri.
Kini ia berusia kepala 5, sungguh usia yang jelas tidak muda lagi. Mungkin mimpinya membangun rumah tangga sudah mulai sirna. Perlahan ia menyadari bahwa kesendirian adalah sebuah takdir yang harus ia jalani selama hidupnya di bumi. Saat sudah menerima diri sebagai penyendiri, akhirnya datanglah seorang lelaki datang memperistri. Bagai sang permaisuri yang menantikan kedatangan seorang pangeran, ia merasa hidup lagi. Sayangnya usianya sudah tidak matang lagi. Tidak apa-apa, paling tidak bisa menemani hari-hari dari rasa sepi, pikirnya.
Dialah Bang Abdi, kami menyebutnya begitu. Pangeran yang datang untuk memperistri Mbok Kami. Bang Abdi sendiri berusia kepala 4 saat ini. Sebenarnya masih ia masih bisa memperoleh yang seusianya atau dibawahnya. Namun entah kenapa ia lebih memilih Mbok Kami. Mungkin inilah salah satu kejutan dari Tuhan. Mereka berdua akhirnya melangsungkan pernikahan dengan sederhana. Tak perlu wah, yang penting sah, begitu pikirnya.
Hari-hari mereka lewati dengan kebersamaan. Membangun rumah sederhana untuk singgasana mereka berdua. Mereka memelihara beberapa ternak, mulai dari unggas hingga kambing. Kekompakan mereka seperti pasangan muda, bedanya mereka sudah tidak labil lagi. Nampak kebahagiaan terpancar dari pasangan tua ini. Tak ada lagi sepi, tak ada lagi sendiri, hanya doa supaya mereka langgeng sampai mati.
Kini, usia pernikahan mereka menginjak 5 tahun dengan kemesraan yang masih sama. Kebersamaan dalam kesederhanaan namun membahagiakan. Mereka mampu membuktikan bahwa untuk bahagia tidak perlu harta yang melimpah. Meskipun mereka tidak bisa lagi untuk mewariskan keturunan namun mereka tetap hidup dalam kerukunan. Tuhan memang selalu punya rencana yang tidak terduga. Sekali lagi, Tuhan selalu punya rencana tak terduga.
Dan sekali lagi, Tuhan dengan rencana yang tidak terduga. Cinta yang diharapkan tidak akan berakhir, kini sudah menemui titiknya. Setelah 5 tahun merajut cinta suci, kini mencapai pada puncaknya. Seperti mimpi, tapi itu adalah sesuatu yang pasti. Mbok Kami dengan keperkasaan hatinya diuji kembali oleh Yang Maha Menghidupi.
Hari itu, Bang Abdi pamit mencari rumput untuk pakan kambingnya yang berjumlah 6 ekor. Cuaca begitu cerah, Bang Abdi berjalan menyusuri pematang sawah di tengah teriknya mentari. Mencari rumput hijau dan subur supaya kambingnya cepat besar. Dari kejauhan nampak tetangganya yang kebetulan sedang mencari rumput menyapanya. Namun Bang Abdi tidak menjawab sapaan tetangganya. Si bapak-bapak tetangganya itu memaklumi mengira Bang Abdi tidak mendengar.
Selang beberapa lama, tetangganya itu melihat Bang Abdi tiba terjatuh. Dari kejauhan ia segera berlari sekencang yang ia bisa untuk menolongnya. Sayangnya, begitu sampai Bang Abdi sudah tidak sadarkan diri. Ia mencari bantuan siapa saja yang sedang berada di sawah untuk menolongnya. Dengan digotong oleh 3 orang, Bang Abdi segera dilarikan ke rumah sakit terdekat. Mbok Kami jelas panik dan histeris melihat itu semua. Ia bingung bagaimana itu bisa terjadi padahal Bang Abdi dalam kondisi sehat sebelum pamit mencari rumput.
Dalam perjalanan ke rumah sakit, sayang sekali nyawanya sudah tak lagi tertolong. Belahan jiwa Mbok Kami telah pergi menjawab panggilan sang Ilahi. Mbok Kami jelas tidak bisa menerima itu dengan mudah. Sebuah pukulan telak yang menghancurkan segala hatinya. Pria yang selama lima tahun hidup bersama dengan cinta dalam kesederhanaan yang membahagiakan telah tiada. Tak ada lagi memberi makan unggas bersama, boncengan ke pasar dengan motor tuanya, bercanda di sore hari dengan penuh tawa. Semuanya sirna, hanya kenangan yang tersisa.
Mbok Kami masih tidak percaya, kehilangan cinta yang sejak dulu ia nantikan. Tangis histeris, memohon Bang Andi untuk bangun, jelas semuanya sia-sia. Itu adalah keputusan dari Yang Maha Kuasa. Sudah sepantasnya ia menerima dengan lapang dada, semua orang tahu itu berat rasanya. Perlahan, akhirnya ia mulai menerima apa yang menjadi kehendak-Nya.
Beberapa hari, ia masih ditemani saudaranya dalam gubuk peninggalan pujaan hatinya. Hatinya kini kembali sepi. Kini ia benar-benar menyadari bahwa takdirnya hidup seorang diri. Bang Abdi yang pernah Tuhan titipi, kini sudah diambil lagi. 5 tahun jelas terasa begitu singkat dengan cerita cinta yang membahagiakan itu. Di usia yang tidak muda lagi, tidak mungkin lagi mencari dambaan hati. Satu yang pasti, Bang Abdi takkan pernah terganti, Bang Abdi selalu di hati Mbok Kami. Meskipun kini ia kembali sendiri, namun doanya takkan pernah berhenti supaya disatukan di surga nanti.
Posting Komentar
Posting Komentar