Terpenjara Dalam Kamar Penuh Kekosongan
Pagi ini cuaca sedang lumayan baik dibandingkan hari-hari sebelumnya yang selalu mendung. Cerah berawan nampak matahari terlihat sebagian dibalik awan menggumpal tipis yang mencoba menutupi sinarnya. Pukul 05:48 aku membuka beranda Facebook karena semalam aku sudah berencana untuk jogging dengan temanku. Mengirim chat mengkonfirmasi bahwa aku baru pulang dari dunia bernama mimpi. Akhirnya, aku cuci muka dan langsung menuju rumah temanku, bernama Suko. Rencananya kami ingin jogging di pantai. Rumah kami memang tidak begitu jauh dari pantai, hanya sekitar 9 kilometer.
Sekitar duapuluh menit perjalanan menggunakan sepeda motor akhirnya sampailah di pantai.
Pantai Suwuk, itulah tujuan kami. Pantai ini memang menjadi pantai yang paling ramai dikunjungi warga sekitar maupun dari luar daerah. Di sana, sudah ada banyak orang berkunjung, apalagi di hari Minggu seperti ini. Seperti biasanya, kami tak pernah ditagih tiket masuk. Mungkin karena petugas mengira kami adalah warga desa disitu. Apalagi dengan pakaian kami yang seadanya. Hanya kaos oblong dan celana training yang bagian lututnya sobek. Wajar saja petugas selalu memperbolehkan masuk secara gratis. Ditambah dengan cara sok akrab. Menyapa petugas seolah kami mengenalnya padahal tidak sama sekali.
Setelah memarkirkan sepeda motor buatan tahun 2006 yang pernah turun mesin sekali, aku dan Suko berjalan menuju tepian pantai. Pantai benar-benar ramai dipenuhi makhluk-makhluk sosial yang penuh dosa ini termasuk kami. Mulai dari yang bersama pasangan, bersama keluarga, bersama teman-teman. Semua sibuk dalam kesibukannya masing-masing. Ada yang berfoto-foto, selfie, bermain bola, membuat istana pasir, menunggangi kuda, ATV dan tentunya jogging seperti yang kami lakukan. Suko, laki-laki dengan berat 90 kilogram ini yang katanya baru saja turun 6 kilo sungguh semangat untuk menurunkan berat badannya lagi. Ia memang keturunan memiliki postur tubuh besar. Terbukti dari ayah, paman-pamannya berpawakan besar pula.
Tidak menunggu lama, begitu sampai di tepian pantai kami melepas sendal jepit dan meninggalkannya tanpa rasa belas kasihan di pantai yang agak kotor ini. Kami mulai berlari-lari kecil menyusuri pantai yang agak sedikit panas oleh mentari yang mulai menampakan dirinya dari belenggu awan. Langkah demi langkah terasa berat berlari di pasir yang basah terkadang ombak kecil mencoba merobohkan langkah kami. Namun sayangnya ombak kecil tak mampu meruntuhkan kokohnya kaki-kaki kami. Kami berlari melewati banyak orang. Mulai dari muda-mudi yang sedang bermesraan, orang tua yang menikmati pantai, dan segerombolan keluarga yang tampak bahagia, bahkan kuda yang sedang dimandikan di pantai. Kami berlari dan terus berlari meskipun tidak ada yang mengoper bola karena kami bukan sedang bermain bola. Kami berlari berjejeran kalau dilihat dari belakang akan terlihat seperti angka 10 berjalan. You know what I mean, bro!
Setelah berlari bolak-balik cukup lama akhirnya sesuatu menghentikan langkah kaki Suko. Pasir basah yang dia pijak membuat langkah kakinya berat, seberat badannya mungkin. 'Mandek disitlah, abot banget.', katanya terengah-engah. (Berhenti dululah, berat banget) kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Akhirnya kami berhenti. Duduk-duduk sebentar untuk menghirup udara sembari menikmati ombak pantai yang sedang pasang. Setelah duduk beberapa menit, kami berjalan-jalan menyusuri pantai.
Posting Komentar
Posting Komentar