Pengemis Juga Butuh Modal
"Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.", begitu ungkapan yang kita kenal sejak lama. Tentu saja, memberi lebih baik daripada meminta. Seperti hari ini, saya punya pengalaman yang cukup enak dan tidak enak. Di tengah hari yang cukup panas ini, saya berencana untuk makan siang di sebuah warung, anggap saja warung soalnya saya bingung nyebutnya apa. Mirip cafe, tapi bukan. Restoran juga bukan, warteg juga bukan, jadi sebut saja warung.
Saya memesan ayam bakar dengan nasi dan minuman berupa air yang dicampur perasan lemon dan beberapa bongkahan kecil es batu. Minuman itu disebut es lemon oleh pemilik warungnya. Sedang asyik menyantap hidangan sederhana dan sedikit merasa kepedesan, saya menyedot es lemon tadi untuk menghilangkan rasa pedas di mulut. Bukannya rasa pedas itu hilang, rasa pedas itu malah menyebar ke seluruh permukaan mulut dan itu membuat saya sedikit kesal.
Yang lebih mengesalkan lagi ketika saya sedang kesal dan menyantap ayam bakar saya yang pedas, datanglah sosok ibu-ibu berusia kira-kira setengah abad. Ia tampak mengenakan kerudung hitam, kemeja panjang berwarna hitam dan putih dengan rok hitam yang cukup lusuh. Tak hanya roknya, wajahnya pun tampak lusuh dan kusam meskipun tidak berjerawat. Wanita itu kemudian mendekati saya yang sedang duduk manis meskipun es lemon saya sedikit asam. Ibu itu kemudian membisikkan sesuatu di telinga saya, "Mas, resletingnya kebuka." Eh, nggak ding, saya bercanda. Dari jarak sekitar 2 meter Ibu itu memanggil saya "Mas, mas.", dengan suara pelan, intonasi datar, dilengkapi dengan raut muka yang datar juga. "Mungkin ibu ini sedang latihan berperan menjadi Susana untuk film terbarunya.", pikirku dalam hati.
Sebenarnya saya ingin membenarkan kepada ibu itu, apakah dia sedang latihan menjadi Susana atau bukan, namun saya tidak berani bertanya seperti itu takutnya mengganggu aktingnya. Setelah itu, dia mengulurkan dan menadahkan tangannya ke arah saya. Saya yakin, ibu ini benar-benar ber-akting menjadi Susana yang meminta ayam bakar yang sedang saya makan ini. Melihat ibu itu menadahkan tangannya, membuat saya ingin ber-akting juga. "Ini! Ambil semua ayamnya, sekalian sambal dan tulangnya juga. Kalau pedas, ini ambil juga es lemon saya! Tapi tolong jangan bunuh saya!", Namun saya sadar bahwa saya tidak pandai ber-akting, jadi saya cuma diam dan membisu.
Saya lirik sedikit, eh masih ada, terus saya pura-pura makan ayam sampai tinggal tulangnya saja. Setelah itu, saya lirik lagi, dan ibu itu kemudian pergi lalu menakuti pengunjung warung lainnya. "Wah, ternyata dugaan saya benar, ibu itu sedang belajar akting menjadi Susana." Setelah ibu itu pergi dan mendekati pengunjung lain, saya heran. Kok dia malah dikasih receh, bukannya dia minta daging ayam bakar? Wah ternyata pengunjung yang ngasih receh itu nggak tahu kalau sebenarnya ibu-ibu itu sedang belajar akting menjadi Susana.
Oke, baiklah. Saya tahu ibu itu adalah pengemis. Dan bukannya pelit, karena tidak mau memberi sedikit uang untuknya. Saya pribadi cuma heran, dengan tubuh masih sehat segar begitu, tampang kelaparan tidak ada, fisik sempurna, jadi apa yang harus dikasihani darinya? Yang terlihat ya itu tadi, seperti hantu sundel bolong yang sedang meminta sate seperti di film Susana. Apalagi datangnya di tempat makan, yang ada bikin risih orang yang sedang makan disitu. Saya kira dengan fisik yang seperti itu, bekerja masih mampu.
Bukan cuma ibu-ibu tadi, seringkali saya menjumpai pengemis masih belum begitu tua, fisiknya sehat, malah lebih gemuk dari saya. Apalagi pengemis itu laki-laki, dengan fisik bagus kok mengemis. Bolehlah mengemis, tapi pakai modal dong ngemisnya biar yang melihat jadi kasihan. Kakinya dipatahin satu misalnya, atau kepalanya dicopot, jadi yang melihat bisa merasa iba dan layak untuk diberi sedikit bantuan. Banyak pengemis di Indonesia yang tidak memenuhi kriteria untuk menjadi pengemis. Lah wong tubuhnya masih sehat, bugar, segar, bajunya bagus, nggak compang-camping kayak di sinetron-sinetron di tv lah minimal. Masa baju pengemis lebih bagus dibanding dengan baju saya. Bagaimana saya bisa kasihan coba?
Kalau dengan fisik sebagus itu nggak malu mengemis, saya jadi ingin membuka bisnis pengemis online. Nanti saya bikin aplikasi, merekrut beberapa pengemis untuk mengemis online. Hasilnya nanti bagi hasil. Sekalian biar nanti jadi pro-kontra terus bersitegang dengan pengemis konvensional di jalan-jalan.
Kalau dipikir-pikir, lebih mending pengamen daripada pengemis. Pengamen masih ada usahanya buat nyanyi, jadi ada seni-seni dan karyanya. Sedangkan ngemis?
Kenal bapak-bapak di atas? Kalau tidak kenal berarti nggak pernah nonton berita. Dia adalah pak Walang, pengemis yang omzetnya bisa mencapai 15 juta rupiah. PNS mah kalah dari Pak Walang ini. Ngapain susah-susah belajar, kuliah supaya bisa dapat pekerjaan layak, dia saja pengemis omzetnya gede. Selain Walang, masih ada juga banyak pengemis yang kaya raya. Cek saja di google dengan kata kunci '5 pengemis kaya di Indonesia'.
Nah, jadi kalau mau kaya kita harus apa? Harus ngemis. Jangan sampai deh, kita jadi pengemis. Kita harus bersyukur dengan apa yang kita punya, Alhamdulillah punya pekerjaan walaupun gajinya kecil, walaupun gaji para pengemis lebih gede dari kita. Dan mungkin kalau ada pengemis yang baca artikel ini, dia juga akan bilang "Alhamdulillah, nggak perlu repot-repot kerja keras kaya mereka, bisa kaya raya. Gitu aja kok repot."
Lalu, bolehkah memberi uang kepada pengemis? Boleh saja memberi bantuan kepada pengemis, tapi jika pengemis itu benar-benar butuh bantuan. Kelaparan misalnya, dan orang itu sudah benar-benar tidak punya apa-apa untuk dimakan atau uang untuk dibelanjakan makanan.
Melihat pengemis di warung ayam bakar, saya jadi ingin berpuisi.
PENGEMIS (Karya: Adit Tian)
Pengemis oh pengemis
Hidupmu begitu manis
Keuangan tidak pernah kritis
Dompet tidak pernah tipis
Bahkan punya Toyota Yaris
Bisa liburan ke Paris
Padahal cuma pengemis
Pengemis oh pengemis
Nasibku begitu sadis
Banting tulang dari Kamis hingga Kamis
Dompet selalu kembang kempis
Akhir bulan kadang meringis
Karena uang sudah habis
Puisi di atas cuma untuk hiburan lhoooo, bukan iri dengan nasib para pengemis yang manis.
saya ngga pernah ngasih pengemis lagi, apalagi kalau memang mereka ga susai kreteria seorang pengemis, yah badan masih bugar juga ngapain ngemis, sya jug menyadari mereka sedang berakting, haha
BalasHapussaya lebih iba sama yang cari barang2 bekas, dengan pakaian yang kotor dan membawa karung di punggungnya, tapi saya ga kasih uang sih, kalau kebetulan jumpa saya belikan makanan saja.
Setuju mas Sabda, lagipula ada UU bahwa mengemis itu dilarang.
Hapusmas didaerah aku ada banayk oengemis yg datang ke kotaku naik pick up di taruh di suatu tempat dan dijelmpu menjelang azar, ibu2 berkebaya semua meminta2. Dan ternyata di daerah meeka itu rumah mereka bagus. apalagikl bulan ramadhan tambah banyak lagi krn mereka tahu akan banyak org yg bersedekah
BalasHapusWah itu sih pengemis terorganisir, hahaha
HapusAsalkan tidak memaksa orang yang sedang makan atau berwisata, kehadiran pengemis itu tentu tidak menimbulkan masalah. Adanya pengemis, pengamen, dan lain sebagainya merupakan "indikator sosial" penyerapan tenaga kerja di suatu negara yang kurang maksimal. Kalau makin banyak peluang usaha dan peluang kerja saya yakin mereka akan berfikir dua kali untuk menjadi pengemis.
BalasHapus