Mengapa Mantan Koruptor Masih Berani Nyaleg?
Tanpa disertai angin, hujan, dan gledek, tiba-tiba saja ponsel saya berbunyi pertanda ada notifikasi pesan WhatsApp masuk. Setelah saya buka, ternyata Rijal yang mengirimiku pesan. Dengan pekoknya, dia menanyakan sebuah pertanyaan yang pekok juga. "Mengapa mantan koruptor masih berani nyaleg?"
Mana saya tahu, saya kan bukan mantan koruptor yang mau nyaleg lagi. Awalnya saya kira pertanyaan itu adalah gurauan belaka, kami kan suka bergurau tentang apa saja. Namun ternyata dugaan saya salah, Rijal bilang itu adalah tugas kuliah. Rijal memang saat ini sedang kuliah jurusan Akuntansi di salah satu PTN di Jogjakarta. Sebagai orang yang belum pernah makan bangku perkuliahan dan meja dosen, saya baru tahu kalau tugas kuliah itu ada yang seperti itu. Hmm...
Akhirnya, saya suruh saja si Rijal untuk menjawab seperti yang ada dalam pikiran saya, "Mana saya tahu, saya kan bukan mantan koruptor yang mau nyaleg lagi". Tapi Rijal enggan mengikuti saran saya. Ya sudahlah, dasar manusia. Sebenarnya saya heran, kenapa Dosennya memberikan tugas seperti itu ya? Apa karena beliau juga tidak tahu 'mengapa mantan koruptor masih berani nyaleg lagi?'. Itu sebabnya beliau meminta mahasiswanya untuk mencari tahu tentang itu?
Tapi saya lebih heran, kok ada ya mantan koruptor kok berani nyaleg lagi? Nahlo! Saya jadi ikut heran dan mikir kenapa bisa begitu. Tuhkan! Gara-gara Dosennya Rijal dan Rijal saya jadi ikut heran. Saya kan tidak mau ikut campur urusan orang. Suka-suka mereka dong kalau mau nyaleg lagi, kenapa saya yang harus pusing mikirin itu? Lagipula itu diperbolehkan.
Siapa tahu mereka (eks koruptor yang mau nyaleg) sudah taubat dan ingin menebus kesalahannya di masa lalu. Siapa tahu kan? Iya siapa tahu, tapi kan tidak ada yang tahu selain dia, Tuhan, dan dua malaikat di sisinya. Daripada berprasangka buruk. Soal terpilih atau tidaknya itu tergantung masyarakatnya masih percaya atau tidak. Ujung-ujungnya juga kembali ke pilihan masyarakat lagi. Kan rakyat yang memilih, kalau mau dipilih ya pilih. Kalau nggak ya, nggak usah dipilih. Gitu aja kok repot, piye to?
Gitu aja kok repot, sumber gambar tertera. |
Kalau saya secara pribadi sih, tergantung besaran amplop yang dia kasih ke saya. Kalau nominalnya sesuai ya saya terima amplopnya, tapi nggak saya coblos. Hiya hiya hiya... Mau itu mantan koruptor, caleg baru, atau caleg senior yang berkali-kali ikut pileg tapi tidak kunjung terpilih, saya terima kok amplopnya. Lumayan buat main PlayStation. Tapi daripada nyaleg tidak kunjung dipilih, mendingan main PS sama saya saja. Yuk! Buat hiburan, daripada stres.
*Apa-apaan nih, lagi nulis tiba-tiba lihat ada berita Pria dari Muntilan menikah dengan bule cantik asal Manchester. Jadi nggak fokus kan, bawaanya pengen ke Borobudur nanti pulangnya bawa bule satu.*
Ngomong-ngomong soal mantan koruptor, jadi kepikiran juga 'kok hukuman para koruptor di Indonesia terlalu ringan ya?', Setuju nggak sih? Menurut saya sih begitu. Contohnya seperti kasus Ketua DPRD Bengkalis yang korupsi Rp. 31 miliar hanya divonis 1,5 tahun penjara. Enak banget tuh, bahkan setelah vonis dijatuhkan, pelakunya sangat senang dengan putusan hakim. Ya iyalah, cuma 1,5 tahun.
Baca beritanya di sini: Kasus Korupsi Rp 31 M, Ketua DPRD Bengkalis Divonis 1,5 Tahun
Selain kasus Ketua DPRD Bengkalis, juga banyak sekali koruptor yang mendapat vonis yang ringan. Berdasarkan data ICW (Indonesian Corruption Watch), sebanyak 1.249 perkara korupsi yang melibatkan 1.381 terdakwa yang ditangani di tahun 2017 total kerugian mencapai Rp.29,41 triliun. Itu duit lho, bukan butiran debu. Dari total terdakwa, sebanyak 81,61% (1.127 terdakwa) diberi hukuman 1-4 tahun kurungan penjara, 169 orang divonis 4 sampai 10 tahun, dan sisanya dibui lebih dari 10 tahun. Sisanya itu cuma 4 biji.
Hukuman untuk para pelaku korupsi di Indonesia begitu ringan, wajar saja kalau kasus korupsi masih menghiasi Indonesia. Padahal seharusnya hukuman itu yang bisa bikin jera para pelakunya. Jadi mereka itu kapok dan bisa jadi pelajaran untuk orang lain supaya tidak melakukan praktik korupsi.
Seperti kasus korupsi berjamaah yang dilakukan oleh anggota DPRD Malang, Jawa Timur. Dari total 45 anggota, sebanyak 41 orang menjadi tersangka. Lah yang 4 orang ini kok nggak ikut korupsi? Nanggung banget tinggal empat. Padahal 41 orang yang menjadi tersangka ini ketawa-ketiwi bareng di penjara. Susah senang tetap bersama. Yang 4 pasti nyesel nggak ikut korupsi.
Lagian korupsi kok berjamah gitu, sholat dong berjamaah, pahalanya 27 derajat. Susah sih untuk membuat para koruptor jera, dikurung di penjara juga masih bisa bebas berkeliaran. Selain itu penjaranya mewah-mewah pula, kaya hotel bintang tujuh. Kamar saya saja kalah jauh dengan kamar penjara para koruptor. Hmm. . . Saya jadi iri. Nggak ding, iri kok sama koruptor.
Seperti saat acara Mata Najwa saat mengunjungi penjaranya Pak Setya Novanto. Kenal Setya Novanto kan? Itu lho, pelaku kasus korupsi e-KTP yang merugikan negara hingga Rp. 2,3 triliun. Kalau masih belum ngeh juga, itu lho yang mobilnya ketabrak tiang listrik sampai tiang listriknya benjol segede bakpao. Sekarang pasti tahu kan? Beliau yang divonis 15 tahun penjara saja bisa cengengesan, apalagi penjaranya cuma penjara-penjaraan.
Gambar dari duniaku.net |
Kenapa ya, Indonesia tidak berani menghukum para pelaku korupsi dengan hukuman yang berat? Sudah hukumannya ringan dapat banyak remisi pula. (Remisi: potongan tahanan). Hukuman kok receh banget sih. Penjara 15 tahun dapat cashback hingga 40%. Di China saja pelaku koruptor dihukum mati, di Vietnam juga. Kalau di Arab Saudi malah dipancung. Ngeri kan? Nggakpapa ngeri, biar nggak ada yang korupsi. Kalau di Korea Selatan, hukuman berat dan dikucilkan masyarakat.
Seharusnya hukuman untuk para koruptor itu seperti foto KTP, SUDAH JELEK, SEUMUR HIDUP PULA. Btw, KTP saya yang dibuat tahun 2016 lalu sudah rusak, plastiknya mengelupas. Kemarin ke tempat fotocopy mau fotocopy KTP sama mbak-mbak penjaganya dikasih selotip sambil bilang, "Kasian banget sih mas, KTP-nya, saya selotip ya.". Tuhkan, jadi curhat masalah KTP kan? Gara-gara Setya Novanto nih.
Sudah ya, makin ngelantur nanti. Yang jelas hukuman untuk para koruptor di Indonesia harus memberikan efek jera bagi pelaku dan pelajaran bagi orang lain sehingga tingkat kejahatan korupsi bisa berkurang. Kalau menurut Amnesty International Indonesia hukuman mati tidak memberikan efek jera dan mengurangi kejahatan, ya sudah cari solusi dong. Sebelum para koruptor yang tertangkap semakin banyak dan hanya mendapat hukuman ringan.
Baca disini:
Waduh, tugas dari dosen kok kayak gitu ya. Mana saya tahu juga. Isu menjelang pemilu.
BalasHapusHehe, mungkin disuruh menganalisa mba. Wkwk
BalasHapus